PEMBAGIAN PENGETAHUAN
Saat ini pembagian pengetahuan yang
dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang memuaskan dan diterima
semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia keilmuan di Barat
terbagi menjadi dua saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan humaniora. Termasuk ke dalam sains adalah ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences),
dengan cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam humaniora
adalah segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama, seni,
bahasa, dan sejarah.
Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke
dalam kelompok besar humaniora sebenarnya menyisakan banyak kerancuan
karena besarnya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu, baik
dari segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya
barangkali terletak pada perbedaannya, atau barangkali sekadar pada
fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan humaniora itu tidak dapat
digolongkan sebagai sains. Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan yang
tidak persis dari kata Inggris humanities, berarti (segala
pengetahuan yang) berkaitan dengan atau perihal kemanusiaan. Tetapi
kalau demikian, maka ilmu-ilmu sosial pun layak dimasukkan ke dalam
humaniora karena sama-sama berkaitan dengan kemanusiaan.
Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini
kajian epistemologi di Barat cenderung menolak kategorisasi pengetahuan
(terutama dalam humaniora dan ilmu sosial) yang ketat. Pemahaman kita
akan suatu permasalahan tidak cukup mengandalkan analisis satu ilmu
saja. Oleh karena itu muncullah gagasan pendekatan interdisiplin atau
multidisplin dalam memahami suatu permasalahan. Bidang-bidang kajian
yang ada di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat tidak lagi hanya
berdasarkan jenis-jenis keilmuan tradisional, tetapi pada satu tema yang
didekati dari gabungan berbagai disiplin. Misalnya program studi Timur
Tengah, studi Asia Tenggara, studi-studi keislaman (Islamic studies),
studi budaya (cultural studies), dll.
Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli
satu ilmu pun kini harus didekati dari berbagai macam disiplin agar
diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Wilayah-wilayah geografis
tertentu, misalnya Jawa, suku Papua, pedalaman Kalimantan, atau Maroko
dan Indian, yang dahulu dimonopoli ilmu antropologi, kini harus dipahami
dengan menggunakan berbagai macam disiplin (sosiologi, psikologi,
semiotik, bahkan filsafat).
Pendekatan interdisiplin ini pun kini
menguat dalam kajian-kajian keislaman, termasuk dalam fikih. Untuk
menentukan status hukum terutama dalam permasalahan kontemporer,
pemakaian ilmu fikih murni tidak lagi memadai. Apalagi jika fikih
dimengerti sebagai fikih warisan zaman mazhab-mazhab. Ilmu-ilmu modern
saat ini menuntut untuk lebih banyak dilibatkan dalam penentuan hukum
suatu masalah. Sekadar contoh, untuk menentukan hukum pembuatan bayi
tabung, diperlukan pemahaman akan biologi dan kedokteran. Untuk
menghukumi soal berbisnis di bursa saham, ilmu ekonomi harus dipahami.
Dll.
TIGA ASPEK PENGETAHUAN
Ada tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi
Ontologi adalah pembahasan tentang
hakekat pengetahuan. Ontologi membahas pertanyaan-pertanyaan semacam
ini: Objek apa yang ditelaah pengetahuan? Adakah objek tersebut?
Bagaimana wujud hakikinya? Dapatkah objek tersebut diketahui oleh
manusia, dan bagaimana caranya?
Epistemologi
Epistemologi adalah pembahasan mengenai
metode yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Epistemologi
membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana proses yang
memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan
yang benar? Lalu benar itu sendiri apa? Kriterianya apa saja?
Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai
nilai moral pengetahuan. Aksiologi menjawab pertanyaan-pertanyaan model
begini: untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana kaitan antara
cara penggunaan pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral? Bagaimana kaitan antara metode pengetahuan dengan norma-norma
moral/profesional?
Perbedaan suatu pengetahuan dengan
pengetahuan lain tidak mesti dicirikan oleh perbedaan dalam ketiga aspek
itu sekaligus. Bisa jadi objek dari dua pengetahuan sama, tetapi metode
dan penggunaannya berbeda. Filsafat dan agama kerap bersinggungan dalam
hal objek (sama-sama membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah,
dsb), tetapi metode keduanya jelas beda. Sementara perbedaan antar sains
terutama terletak pada objeknya, sedangkan metodenya sama.
SUMBER PENGETAHUAN
Indera
Indera digunakan untuk berhubungan dengan
dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita. Indera ada bermacam-macam;
yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera penglihatan
(mata) yang memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu
benda; indera pendengaran (telinga) yang membuat kita membedakan
macam-macam suara; indera penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam
bau-bauan; indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan
makanan enak dan tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan
kita mengetahui suhu lingkungan dan kontur suatu benda.
Pengetahuan lewat indera disebut juga
pengalaman, sifatnya empiris dan terukur. Kecenderungan yang berlebih
kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang utama, atau bahkan
satu-satunya sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut empirisisme,
dengan pelopornya John Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris.
Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan
mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat
dipercaya, dan pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang
benar.
Tetapi mengandalkan pengetahuan
semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam banyak kasus,
penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Misalnya pensil yang dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal
sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat lebih kecil, padahal ukuran
sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu lemah atau terlalu keras
tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau alat indera kita bermasalah,
sedang sakit atau sudah rusak, maka kian sulitlah kita mengandalkan
indera untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
Akal
Akal atau rasio merupakan fungsi dari
organ yang secara fisik bertempat di dalam kepala, yakni otak. Akal
mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa
memastikan bahwa pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan
tetap bulat walaupun tampaknya sabit. Keunggulan akal yang paling utama
adalah kemampuannya menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa
terikat pada fakta-fakta khusus. Akal bisa mengetahui hakekat umum dari
kucing, tanpa harus mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di
rumah tetangganya, kucing hitam, kucing garong, atau kucing-kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara
langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau ide yang inheren dalam
akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu,
penangkapan akal atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori.
Kategori-kategori itu antara lain substansi, kuantitas, kualitas,
relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal
bersifat rasional, logis, atau masuk akal. Pengutamaan akal di atas
sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa akal adalah
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme,
dengan pelopornya Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis. Seorang
rasionalis umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera
sebagai semu, palsu, dan menipu.
Hati atau Intuisi
Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi
hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada yang menyebut
jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya,
intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam
kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan
tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita
rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak.
Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita
sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati
pemandangan alam.
Intuisi disebut juga ilham atau
inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara
tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan
hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu
masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan
mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur
atau bersantai, pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh
karena itu intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu kemampuan
yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah
digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa
dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan spiritual.
Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini,
menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai
pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi
(meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan
dari kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman
khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia
seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak
bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu
jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita adalah sama, tapi
bagi orang yang mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa
merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau
makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya disebut intuisionisme.
Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya
adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada sumber pengetahuan lain
yang disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan langsung dari Tuhan
kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama. Namun
sebagian pemikir Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam
pengertian wahyu sebagai jenis intuisi pada tingkat yang paling tinggi,
dan hanya nabi yang bisa memerolehnya.
Dalam tradisi filsafat Barat,
pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan rasionalisme.
Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan
kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan
dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran
rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme, ‘irfani), dengan
kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir
a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas tindakan-tindakan Khidir yang
mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme.
Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini
kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status ontologis yang
kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih daripada
rasio.
LOGIKA
Logika adalah cara berpikir atau
penalaran menuju kesimpulan yang benar. Aristoteles (384-322 SM) adalah
pembangun logika yang pertama. Logika Aristoteles ini, menurut Immanuel
Kant, 21 abad kemudian, tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik
penambahan maupun pengurangan.
Aristoteles memerkenalkan dua bentuk
logika yang sekarang kita kenal dengan istilah deduksi dan induksi.
Logika deduksi, dikenal juga dengan nama silogisme, adalah menarik
kesimpulan dari pernyataan umum atas hal yang khusus. Contoh terkenal
dari silogisme adalah:
- Semua manusia akan mati (pernyataan umum, premis mayor)
- Isnur manusia (pernyataan antara, premis minor)
- Isnur akan mati (kesimpulan, konklusi)
Logika induksi adalah kebalikan dari
deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang
bersifat khusus menuju pernyataan umum. Contoh:
- Isnur adalah manusia, dan ia mati (pernyataan khusus)
- Muhammad, Asep, dll adalah manusia, dan semuanya mati (pernyataan antara)
- Semua manusia akan mati (kesimpulan)
TEORI-TEORI KEBENARAN
Korespondensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila
sesuai dengan fakta atau kenyataan. Contoh pernyataan “bentuk air selalu
sesuai dengan ruang yang ditempatinya”, adalah benar karena
kenyataannya demikian. “Kota Jakarta ada di pulau Jawa” adalah benar
karena sesuai dengan fakta (bisa dilihat di peta). Korespondensi memakai
logika induksi.
Koherensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila
konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contoh
pernyataan “Asep akan mati” sesuai (koheren) dengan pernyataan
sebelumnya bahwa “semua manusia akan mati” dan “Asep adalah manusia”.
Terlihat di sini, logika yang dipakai dalam koherensi adalah logika
deduksi.
Pragmatik
Sebuah pernyataan dikatakan benar jika
berguna (fungsional) dalam situasi praktis. Kebenaran pragmatik dapat
menjadi titik pertemuan antara koherensi dan korespondensi. Jika ada dua
teori keilmuan yang sudah memenuhi kriteria dua teori kebenaran di
atas, maka yang diambil adalah teori yang lebih mudah dipraktikkan.
Agama dan seni bisa cocok jika diukur dengan teori kebenaran ini. Agama,
dengan satu pernyataannya misalnya “Tuhan ada”, adalah benar secara
pragmatik (adanya Tuhan berguna untuk menopang nilai-nilai hidup manusia
dan menjadikannya teratur), lepas dari apakah Tuhan ada itu sesuai
dengan fakta atau tidak, konsisten dengan pernyataan sebelumnya atau
tidak.
***
Setelah mengemukakan hal-hal penting yang
menjadi dasar pengetahuan, berikutnya kita akan meninjau aspek
ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari tiga macam pengetahuan
yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia, yakni filsafat, agama,
dan sains.
FILSAFAT
Sering dikatakan bahwa filsafat adalah
induk segala ilmu. Pernyataan ini tidak salah karena ilmu-ilmu yang ada
sekarang, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, mulanya berada dalam
kajian filsafat. Pada zaman dulu tidak dibedakan antara ilmuwan dengan
filosof. Isaac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisikanya dalam
buku yang berjudul Philosophie Naturalis Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam kapasitasnya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Kita juga mengenal Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran yang menyusun ensiklopedi besar al-Qanun fi al-Thibb sekaligus sebagai filosof yang mengarang Kitab al-Syifa’.
Definisi filsafat tidak akan diberikan
karena para ahli sendiri berbeda-beda dalam merumuskannya. Cukup di sini
disinggung mengenai ciri-ciri dari filsafat, sebagaimana diuraikan
Suriasumantri (1998), yaitu menyeluruh (membahas segala hal atau satu hal dalam kaitannya dengan hal-hal lain), radikal (meneliti sesuatu secara mendalam, mendasar hingga ke akar-akarnya), dan spekulatif (memulai penyelidikannya dari titik yang ditentukan begitu saja secara apriori). Spekulatif juga bermakna rasional.
Objek kajian filsafat sangat luas, bahkan
boleh dikatakan tak terbatas. Filsafat memelajari segala realitas yang
ada dan mungkin ada; lebih luas lagi, segala hal yang mungkin dipikirkan
oleh akal. Sejauh ini, terdapat tiga realitas besar yang dikaji
filsafat, yakni Tuhan (metakosmos), manusia (mikrokosmos), dan alam (makrokosmos). Sebagian objek filsafat telah diambil-alih oleh sains, yakni objek-objek yang bersifat empiris.
Objek-objek kajian filsafat yang luas itu
coba dikelompokkan oleh para ahli ke dalam beberapa bidang.
Berbeda-beda hasil pembagian mereka. Jujun Suriasumantri (1998) membagi
bidang kajian filsafat itu ke dalam empat bagian besar, yakni logika (membahas apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah), etika (membahas perihal baik dan buruk), estetika (membahas perihal indah dan jelek), dan metafisika (membahas
perihal hakikat keberadaan zat atau sesuatu di balik yang fisik). Empat
bagian ini bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali. Hampir tiap
ilmu yang dikenal sekarang ada filsafatnya, misalnya filsafat ilmu,
filsafat ekonomi, filsafat hukum, filsafat pendidikan, dan filsafat
sejarah.
Epistemologi filsafat adalah rasional
murni (bedakan dengan rasionalisme). Artinya pengetahuan yang disebut
filsafat diperoleh semata-mata lewat kerja akal. Sumber pengetahuan
filsafat adalah rasio atau akal. Sumber pengetahuan lain yang mungkin
memengaruhi pikiran seorang filosof ditekan seminimal mungkin, dan kalau
bisa hingga ke titik nol. Atau pengetahuan-pengetahuan itu diverifikasi
oleh akalnya, apakah rasional atau tidak. Misalnya seorang filosof yang
beragama Islam tentu telah memeroleh pengetahuan dari ajaran agamanya.
Dalam hal ini ada dua hal yang bisa ia lakukan: menolak ajaran agama
yang menurutnya tidak rasional, atau mencari pembenaran rasional bagi
ajaran agama yang tampaknya tidak rasional.
Filsafat bertujuan untuk mencari
Kebenaran (dengan K besar), artinya kebenaran yang sungguh-sungguh
benar, kebenaran akhir. Sifat aksiologis filsafat ini tampak dari asal
katanya philos (cinta) dan sophia (pengetahuan,
kebijaksanaan, kebenaran). Seorang filosof tidak akan berhenti pada
pengetahuan yang tampak benar, melainkan menyelidiki hingga ke baliknya.
Ia tidak akan puas jika dalam pemikirannya masih terdapat
kontradiksi-kontradiksi, kesalahan-kesalahan berpikir, meskipun dalam
kenyataannya tidak ada seorang filosof pun yang filsafatnya bebas dari
kontradiksi. Dengan kata lain, tidak ada filosof yang berhasil sampai
pada Kebenaran atau kebenaran akhir itu. Semuanya hanya bisa disebut
mendekati Kebenaran.
Kebenaran yang diperoleh dari filsafat itu sebagian ada yang berkembang menjadi ajaran hidup, isme.
Filsafat yang sudah menjadi isme ini difungsikan oleh penganutnya
sebagai sumber nilai yang menopang kehidupannya. Misalnya ajaran
Aristotelianisme banyak dipakai oleh kaum agamawan gereja; ajaran
neoplatonisme banyak dipakai oleh kaum mistik; materialisme, komunisme,
dan eksistensialisme bahkan sempat menjadi semacam padanan agama (the religion equivalen), yang berfungsi layaknya agama formal.
AGAMA
Agama kerap “berebutan” lahan dengan
filsafat. Objek agama dalam banyak hal hampir sama dengan filsafat,
hanya lebih sempit dan lebih praktis. Seperti filsafat, agama juga
membahas Tuhan, manusia, dan alam. Seperti filsafat, agama juga menyoal
metafisika, namun jawabannya sudah jelas: hakikat segala sesuatu adalah
Tuhan. Selain Tuhan, objek pokok dari agama adalah etika khususnya yang
bersifat praktis sehari-hari.
Yang membedakan agama dari filsafat
terutama adalah epistemologi atau metodenya. Pengetahuan agama berasal
dari wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi, dan kita memerolehnya
dengan jalan percaya bahwa Nabi benar. Pada agama, yang harus kita
lakukan adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh memertanyakan
kebenaran agama, setelah menerima dan memercayainya, dengan cara lain
(rasional atau empiris). Tapi ujung-ujungnya kita tetap harus percaya
meskipun apa yang disampaikan agama itu tidak masuk akal atau tidak
terbukti dalam kenyataan.
Jawaban yang diberikan agama atas satu
masalah bisa sama, berbeda, atau bertentangan dengan jawaban filsafat.
Dalam hal ini, latar belakang keberagamaan seorang filosof sangat
memengaruhi. Jika ia beragama, biasanya ia cenderung mendamaikan agama
dengan filsafat, seperti tampak pada filsafat skolastik, baik filsafat
Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika ia tidak beragama, biasanya
filsafatnya berbeda atau bertentangan dengan agama.
Secara praktis, agama sangat fungsional
dalam kehidupan manusia. Fungsi utama agama adalah sebagai sumber nilai
(moral) untuk dijadikan pegangan dalam hidup budaya manusia. Agama juga
memberikan orientasi atau arah dari tindakan manusia. Orientasi itu
memberikan makna dan menjauhkan manusia dari kehidupan yang sia-sia.
Nilai, orientasi, dan makna itu terutama bersumber dari kepercayaan akan
adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati. (Coba perhatikan, dalam
Alquran, objek iman yang paling banyak disebut bahkan selalu disebut
beriringan adalah iman kepada Allah dan hari kemudian).
SAINS
Ontologi
Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau pengetahuan ilmiah) adalah pengetahuan yang tertata (any organized knowledge) secara sistematis dan diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method). Sains memelajari segala sesuatu sepanjang masih berada dalam lingkup pengalaman empiris manusia.
Objek sains terbagi dua, objek material
dan objek formal. Objek material terbatas jumlahnya dan satu atau lebih
sains bisa memiliki objek material yang sama. Sains dibedakan satu sama
lain berdasarkan objek formalnya. Sosiologi dan antropologi memiliki
objek material yang sama, yakni masyarakat. Namun objek formalnya beda.
Sosiologi memelajari struktur dan dinamika masyarakat, antropologi
memelajari masyarakat dalam budaya tertentu.
Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences).
Ilmu-ilmu alam memelajari benda-benda fisik, dan secara garis besar
dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ilmu alam (fisika, kimia, astronomi,
geologi, dll) dan ilmu hayat (biologi, anatomi, botani, zoologi, dll).
Tiap-tiap cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali.
Ilmu kimia saja, menurut Jujun Suriasumantri, memiliki 150 disiplin.
Ilmu-ilmu sosial memelajari manusia dan
masyarakat. Perkembangan ilmu sosial tidak sepesat ilmu alam,
dikarenakan manusia tidak seempiris benda-benda alam, juga karena
benturan antara metodologi dengan norma-norma moral. Namun saat ini pun
ilmu-ilmu sosial sudah sangat beragam dan canggih. Yang paling utama
adalah sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, dan politik.
Epistemologi
Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method)
atau biasa diterjemahkan menjadi metode ilmiah. Metode ini
menggabungkan keunggulan rasionalisme dan empirisisme, kekuatan logika
deduksi dan induksi, serta mencakup teori kebenaran korespondensi,
koherensi, dan pragmatik. Karena penggabungan ini, sains memenuhi sifat
rasional sekaligus empiris. Sains juga bersifat sistematis karena
disusun dan diperoleh lewat suatu metode yang jelas. Bagi kaum
positivis, sains juga bersifat objektif, artinya berlaku di semua tempat
dan bagi setiap pengamat. Namun sejak munculnya teori relativitas
Einstein, apalagi pada masa postmodern ini, klaim objektivitas sains
tidak bisa lagi dipertahankan.
Secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai berikut:
- Menemukan dan merumuskan masalah
- Menyusun kerangka teoritis
- Membuat hipotesis
- Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
- Menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang diperoleh itu disebut
teori. Untuk benar-benar dianggap sahih dan bisa bertahan, sebuah teori
harus diuji lagi berkali-kali dalam serangkaian percobaan, baik oleh
penemunya maupun oleh ilmuwan lain. Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian benar). Sebuah teori bisa juga diuji dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana diusulkan Karl Popper, falsifikasi (pembuktian
salah). Dengan falsifikasi, jika untuk sebuah teori dilakukan 1000
percobaan, 1 saja dari 1000 percobaan itu menunjukkan adanya kesalahan,
maka teori itu tidak perlu dipertahankan lagi. Contoh, jika dinyatakan
kepada kita bahwa semua burung gagak hitam, dan di suatu tempat kita
menemukan satu burung gagak yang tidak hitam, berarti pernyataan itu
salah.
Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang
lebih penting bukanlah ketiadaan salah sama sekali, karena itu sangat
berat bahkan tidak mungkin untuk teori ilmu sosial, namun seberapa besar
kemungkinan teori itu benar (probabilitas). Probabilitas benar 95
persen dianggap sudah cukup untuk men-sahihkan sebuah teori dan
memakainya untuk memecahkan masalah.
Aksiologi
Pengetahuan yang diperoleh lewat metode
sains bukanlah terutama untuk pengetahuan itu sendiri, melainkan sebagai
alat untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah sehari-hari.
Kegunaan ini diperoleh dengan tiga cara, description (menjelaskan), prediction (meramal, memerkirakan), dan controling
(mengontrol). Penjelasan diperoleh dari teori. Dihadapkan pada masalah
praktis, teori akan memerkirakan apa yang akan terjadi. Dari perkiraan
itu, kita memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk
mengontrol segala hal yang mungkin timbul, entah itu merugikan atau
menguntungkan.
Satu sisi yang sering diperdebatkan
adalah menyangkut netralitas sains, kaitannya dengan agama atau ideologi
tertentu. Pada dasarnya sains itu netral, atau setidaknya bermaksud
untuk netral, dalam arti ia hanya bermaksud menjelaskan sesuatu secara
apa adanya. Tetapi sains dapat mengilhami suatu pandangan dunia
tertentu, dan ini tidak netral. Misalnya teori evolusi Darwin dapat
menjadi pandangan dunia yang mekanistik dan ateistik. Dan hal ini sangat
mencemaskan bagi kaum agamawan.
Lahirnya suatu teori juga ternyata tidak
bisa dilepaskan dari konteks tempat teori itu dilahirkan. Konteks
meliputi pandangan dunia yang dianut ilmuwan, latar belakang budaya,
bahasa, dll. Pengaruh konteks ini terutama sangat terasa pada sains
sosial sehingga suatu sains bisa menghasilkan beragam aliran dan
perspektif. []